Desakralisasi Kepemimpinan

pemimpin1

Kepemimpinan merupakan hal pokok dalam suatu organisasi. Tanpa kepemimpinan (sebut saja pemimpin), organisasi tidak akan berjalan lancar dan tidak terkoordinasi dengan baik. Walaupun dosen saya pernah bilang dalam konteks ‘manajemen’ tapi kayaknya ini juga bisa dipakai dalam konteks ‘kepemimpinan’, “Bahwa kepemimpinan itu seni, perbedaan cara memimpin setiap orang itulah yang dianggap sebagai seni”.
Tidak peduli seberapa kecil lingkup seorang pemimpin tapi dia sudah mempunyai tanggung jawab untuk membawa suatu organisasi dalam mencapai tujuan. Makannya banyak hal dan kualifikasi untuk menjadi pemimpin, yang saya rasa perlu dipelajari lagi oleh pemimpin-pemimpin masa kini.
Post saya sebelumnya membahas tentang sebuah ‘masalah’ yang terjadi di suatu kepengurusan organisasi. Ini adalah bukti bahwa , selain seorang pemimpin punya peran penting dalam membawa visi dan misi tapi mereka juga punya peran besar dalam memgang prinsip keagamaan.
Sayangnya di era globalisasi, yang kemudian menjurus kepada liberalisasi sehingga mengakibatkan sekulerisasi, mau tidak mau seorang pemimpin sekarang harus dijalani dengan ‘melepaskan jubah agama’. Meskipun mungkin secara tidak sengaja atau kurangnya pemahaman terhadap agama, hal ini tentu disayangkan.

meski-minoritas-tak-boleh-gentar
Saya ingat Ustadz Hasan dulu pernah bilang, menjadi pemimpin itu sakral, menjadi pengurus rayon itu sakral, menjadi anggota itu sakral. Semuanya serba sakral. Tidakkah kita berpikir lagi apa arti sakral disini?
Ketemu lagi ketika Ustadz Hamid mengiringi Diskusi di BPPM, ingat betul karena ini pertama kalinya saya mendapat topik liberalisme. Yang intinya, bagi koruptor uang itu sekedar materi, tapi kita umat islam, uang itu mengandung konsep rezeki.
Maka disinilah arti sakralnya kepemimpinan. Bagi orang awam, pemimpin itu cuma sekedar jabatan, sekedar kedudukan, sekedar mencapai tujuan. Tapi bagi kita umat islam, di dalam kepemimpinan juga ada konsep amanah, konsep musyawarah, konsep khalifah, dan konsep-konsep lain yang nilai-nilainya jelas terdapat dalam islam.
Maka adalah bahaya ketika kepemimpinan-kepemimpinan besar di negeri ini dipegang oleh mereka-mereka yang tidak paham sakralnya arti pemimpin. Dipegang oleh mereka yang awam terhadap agama. Bahkan lebih jauh lagi dipegang oleh mereka yang non-muslim padahal dibawahnya terdapat anggota yang muslim.
Inilah yang terjadi di negara kita, desakralisasi kepemimpinan, desakralisasi organisasi, desakralisasi jabatan. Padahal Indonesia merupakan negara mayoritas muslim terbesar di dunia. Yang menurut Abu-l-A’laa Al-Maududi, mayoritas ini penentu keadaan umat muslim dunia. Bisakah kita jadi penentu?

4 thoughts on “Desakralisasi Kepemimpinan

  1. Terima kasih sudah mengingatkan, memilih pemimpin muslim adalah keniscayaan. Dan menjadi pemimpin adalah kewajiban, jika tidak memimpin rakyat setidaknya kita menjadi pemimpin untuk diri sendiri.. 😇

    Like

  2. Setelah lama tidak membaca blog Evan, alhamdulillah bisa diberikan waktu untuk membaca artikel antum lagi.
    Semoga umat Islam semakin sadar akan penting bahkan sakralnya kepemimpinan dan mengajak mereka untuk memilih pemimpin muslim..

    Like

Balas