Menggugat Hujan (#PetuahJalanan)

banyak-hujan-hingga-akhir-tahun

Kelabu menjadi tema utama Yogyakarta hari ini. Entah kenapa pagi yang seharusnya cerah bermandikan sinar mataharu kini harus berganti awan kelabu. Walaupun ramalan cuaca memang mengatakan akan terjadi hujan hari ini, tapi apakah salah manusia mengharapkan disapa hangatnya mentari setiap pagi?Hujan adalah rezeki dari Tuhan. Hujan membagikan rezeki bagi para tumbuhan, hewan, tak luput juga manusia. Tanpa hujan entah bagaimana siklus air di dunia ini akan berjalan. Siapa yang harus memompa air dari sungai ke daratan? Lihat, bukankah hujan rezeki dari Tuhan Yang Maha Kuasa, sekarang pertanyaannya, nikmat Tuhan manalagi yang manusia dustakan?
Hujan baru mulai sekitar jam 12 lebih. Tepat dimana saya harus berjalan pulang dari kampus. Karena hujan ini bersifat unpredictable, maka saya memilih menunggu hujan untuk kembali pulang. Sekitar jam 13, hujan mulai reda, menyisakan rintik-rintik kecil sebagai bonus rezeki. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Segera bergegas melangkah pulang. Dan petualangan pun dimulai, layaknya hujan yang sedang ingin mempermainkan saya.
Sebanyak 4 kali saya harus berhenti berjalan kaki demi membiarkan hujan melancarkan aksinya. Seolah-olah memberi pesan kalau saya harus berhenti berjalan dan bertafakkur ria sambil menikmati rintikan hujan. Well, setidaknya saya tahu harus apa?
Pemberhentian pertama di Kopma UNY, saya lewat sini karena saya ada urusan dengan isi dompet (yang tidak teratasi karena ternyata ATM offline). Hujan tiba-tiba ini membuat beberapa pejalan kaki plus pengendara motor panik. Beberapa diantaranya berlari dan berteduh di emperan Kopma. Tapi ada juga yang saya lihat sebegitu kesalnya. Kemejanya basah sebagian, memakir sembarangan (karena terburu-buru), dan bersungutmenuju ATM. Tapi ATM B*I sedang offline dua-duanya, ekspresi kesal jelas terpampang di wajah cowok ini. Entah, ingin berniat menyumpah siapa. Hujan? Mungkin?

dibawah-hujan3
Hujan berhenti total, tapi langit masih menyisakan awan kelabu yang meragukan. Berhubung ini hari kamis dan tidak ada kuliah buat besok, saya merasa tidak ragu kalau harus kehujanan, lagi. Perjalanan sekitar 6 menit hujan kembali turun, mendadak, plus deras. Berhubung tidak ada tempat berteduh, saya mampir ke bengkel FT UNY. Senyum sambil menganggukkan kepala ke mas-mas yang ada disana sudah membuat mereka paham kalau saya cuma numpang berteduh. Kali ini tidak lama, karena saya merasa menganggu suasana ngobrol mereka yang kayaknya tadi seru ketika sebelum saya datang. Akhirnya hujan mereda sedikit saya memilih pergi.
Pemberhentian ketiga ini di sebuah Apotik di jalan Matahari. Disana sudah ada seorang bapak juga sedang menunggu hujan reda. Yang tak disangka ternyata memanggil saya. Menanyakan alamat suatu daerah di Sleman. Berhubung saya orang baru di Yogyakarta saya jawab seadanya. Tapi ternyata bapak ini memang mengisyaratkan lain. Katanya alamat tersebut adalah rumah kerabat di Yogyakarta, dia mau kesana untuk meminjam uang. Anaknya sedang operasi kelenjar getah bening yang harus dioperasi jam 4 dan uangnya kurang 40 ribu. Hmm.. sebenarnya angka yang cocok untuk sekedar ‘membantu’. Dan benar, akhirnya sampai juga di topik “apa saya bisa menolong dia”. Yah, berhubung tidak berani menolak saya keluarkanlah isi dompet yang isinya cuma selembaran “Pak Otto Iskandar”, plus “Bapak Imam bonjol” dan sederet “Kapten Pattimura”.
Apalah daya, saya memohon maaf karena tidak bisa membantu. Tapi saya doakan anaknya cepat sembuh. Hujan reda dan bapak itu pergi.
Kemudian saya berpikir lagi, di luar konteks hujan adalah berkah. Saya melihat mereka yang serba kesusahan karena sekedar hujan. Kesal, mengeluh, sedih dan lain sebagainya. Saya tidak melihat mereka yang bersyukur karena hujan, walaupun memang kesyukuran tidak bisa dilihat. Tapi paling tidak, kalau toh tidak bisa memperlihatkan kesyukuran bukankah lebih baik pula tidak memperlihatkan kesusahan. Percayalah, bagaimanapun hujan tetaplah rezeki.

Balas