Ikhwan, Menikah Dulu atau Mapan Dulu?

jangan-keburu-menikah-karena-alasan-alasan-ini

Sebenarnya tulisan ini saya angkat dari diskusi singkat dengan seorang teman di Facebook. Walaupun prinsip kami sama, ternyata pandangannya berbeda.  Tapi saya sangat menghargai perbedaan ini. Intinya kita sama – sama tidak ingin melanggar Syari’at.

Tapi ada salah satu statement dari diskusi ini, bahwa menikah butuh kemapanan, agar tidak menyusahkan orang lain. Setuju? Saya pun setuju, semua anak kuliah setuju, semua orang beruntung setuju. Tapi bagaimana dengan yang kurang mampu? Bagaimana dengan orang yang rezekinya telah diatur Allah SWT sulit? Apa mereka tidak boleh menikah selamanya?

Dan memang kebanyakan orang tua pasangan memang pasti menanyakan. Bobot, Bibit, dan Bebet – nya si calon menantu. Kamu kerja dimana? Gajinya berapa? Kalau sudah nikah mau tinggal dimana? Dan lain sebagainya. Mungkin ini yang menjadi tekanan para ikhwan buat mapan dulu sebelum menikah.

Ingat saya setuju “mapan sebelum menikah” untuk diri saya sendiri. Tapi tolong jangan men-justifikasi semua orang bakalan mapan. Mapan sebelum menikah adalah prinsip diri kita sendiri. Allah SWT tidak menuntut kalian para ikhwan buat mapan sebelum menikah.

img-wedding_ring_uplot_304131100

 

وَأَنكِحُوا۟ ٱلْأَيَٰمَىٰ مِنكُمْ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌۭ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendiri ( bujangan ) di antara kalian dan orang-orang shaleh diantara para hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka dalam keadaan miskin, Allah-lah yang akan menjadikan kaya dengan karunia-Nya [ QS. An-Nur (24): 32]

Mungkin kita berpikir, kita tidak mau hidup susah dengan keluarga. Kita mau hidup berkecukupan dengan keluarga. Kita tidak mau menyusahkan anak – anak kita dalam bersekolah, bermain dan sebagainya.

Jika berpikir seperti itu, Maka coba lihat. Bagaimana keadaan anak – anak berkecukupan ketika dewasa? Anak – anak yang telah dilengkapi kebutuhannya sejak kecil. Anak – anak yang tidak diajarkan bagaimana berjuang untuk memperoleh sesuatu. Jika mereka butuh sesuatu, tinggal minta dan dibelikan. Manja, itulah jadinya.

Maka buat para ikhwan, saya setuju bagi yang punya prinsip mapan sebelum menikah. Tapi, jadikan prinsip ini untuk diri kita sendiri. Jangan jadikan prinsip tersebut ideologi yang harus dianut semua orang. Kasihan saudara seiman kita yang kurang mampu, yang tidak bisa bersekolah dan kuliah sehingga menanggung beban kehidupan yang berat.

Tentu kita pernah dengar cerita seorang lelaki yang menikah hanya dengan hafalan Al – Qur’an karena saking tidak mampunya.

هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ : مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?”

“Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya.

“Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” pinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.”

Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini sarung saya, setengahnya untuk wanita ini.”

“Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti wanita ini tidak mendapat sarung itu. Dan jika dia memakainya berarti kamu tidak memakai sarung itu.”

Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut.

Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?

“Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya.

Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Iya,” jawabnya.

“Bila demikian, baiklah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 1425)

Maka, siapa tahu ketika para ikhwan yang kurang mampu ini menikah. Baru Allah SWT lancarkan rezekinya. Siapa tahu bukan? Maka jangan tuntut saudara kita yang kurang mampu untuk mapan sebelum menikah. Malah menambah beban bagi mereka. Sama saja kayak bilang, orang miskin dilarang sakit. Hehehe.. Lebih baik kita bantu dan kita doakan.

kerja-keras

Dan jika sudah menikah ketika mapan. Jangan manjakan anak – anak. Ajari anak untuk berjuang untuk mendapatkan sesuatu. Seperti contoh : Jika ingin sepeda harus rangking satu dulu. Jika ingin Handphone, harus menabung dulu. Agar anak tahu cara bersabar mendapatkan sesuatu.

Sekali lagi, tulisan ini hanya membahas pandangan. Bukan membahas masa depan para ikhwan. Juga ndak nyuruh ikhwan buat cepet – cepet nikah. Jadi kalau ditanya menikah dulu atau mapan dulu? Tergantung pilihan kita. Yang penting jangan pacaran dulu!

Wallahu A’lam bis Showab.

Referensi  :
https://rumaysho.com/10494-mahar-nikah-berupa-hafalan-al-quran.html
https://apwa.wordpress.com/perpustakaan/dalil-nikah/

7 thoughts on “Ikhwan, Menikah Dulu atau Mapan Dulu?

Balas